Ujian Nasional, Antara Hasil dan Proses

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Ujian Nasional (UN) 2016 sudah di depan mata. Tidak hanya pelajar, pihak sekolah dan orang tua telah bersiap-siap dalam menghadapinya. Berbagai macam cara telah dilakukan demi kelancaran pelaksanaan UN.
Belajar dari UN 2015, masih banyak ditemukan kasus kecurangan pada saat pelaksanaan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pelaksanaan UN 2015 untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) masih ditemukan kasus kecurangan, terutama dalam perilaku menyontek. Selain itu, terdapat kebocoran soal UN yang sengaja diunggah di Google Drive.
Rasa tidak percaya diri yang dimiliki, dikarenakan pelajar lebih berorientasi terhadap hasil dan bukan terhadap proses. Pelajar merasa kecewa karena usaha yang telah dilakukan selama ini sia-sia apabila belum mendapatkan hasil yang baik. Pelajar menganggap semua yang dilakukan selama ini tiada berguna. Apalagi ada pelajar lain yang mendapatkan hasil lebih baik daripada dirinya, padahal usaha yang dilakukan selama ini tidak sebaik dari apa yang telah dilakukannya.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan butir-butir penting dalam mengubah pandangan pelajar terhadap hasil UN. Pihak yang paling berperan dalam menangani permasalahan ini adalah keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar, dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 2010:195).
Orang tua dalam membimbing anak, dibutuhkan langkah yang tepat. Dalam proses didikan, sikap orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Melihat permasalahan UN yang terjadi dan diakibatkan oleh pelajar yang lebih berorientasi terhadap hasil UN dan bukan terhadap proses yang telah dilakukan selama ini, bisa jadi diakibatkan oleh orang tua pelajar itu sendiri.
Apalagi orang tua tersebut mengharuskan anak untuk mendapatkan hasil yang baik dalam UN. Hal yang seperti inilah yang dapat membuat pelajar merasakan takut, apabila keinginan orang tuanya belum dapat terpenuhi. Di dalam pikiran terlintas bayangan-bayangan reaksi orang tua yang marah dan ancaman yang akan diberikan kepadanya.
Di dalam kehidupan keluarga, sudah sebaiknya orang tua mengajarkan anak dengan didikan yang baik. Sering sekali banyak pelajar yang lebih melihat hasil daripada proses yang telah dilalui. Dalam mengubah pemikiran tersebut, peran orang tua sangat diperlukan melalui pendidikan keluarga.
Pendidikan keluarga dapat dilakukan dengan cara orang tua dapat memberikan contoh teladan yang baik kepada anak. Contoh teladan yang dimaksud dapat berasal dari para tokoh maupun orang tua itu sendiri. Orang tua dapat memberikan pemahaman terhadap anak bahwa para tokoh yang hebat tidak pernah luput dari kata kegagalan.
Meskipun kegagalan pernah dialami, akan tetapi tidak membuat para tokoh tersebut berputus asa. Justru dengan kegagalan tersebut dapat membuat lebih semangat dalam berjuang meraih impian. Sudah sepatutnya pelajar dapat merenungkan pernyataan Rangga Umara (2012), “Tidak pernah ada cita-cita yang terlalu tinggi, yang ada hanyalah upaya yang tak setinggi cita-cita.”
Langkah yang tepat bagi orang tua dalam menanggapi kegagalan bagi pelajar yaitu dilakukan dengan pendekatan dari hati ke hati tanpa melalui kekerasan. Pelajar diberi pengarahan bahwa kegagalan bukanlah suatu hal yang buruk dan perlu ditakuti. Justru dengan adanya kegagalan dapat membuat diri pelajar menjadi kuat dalam menghadapi rintangan dan sabar dalam menghadapi permasalahan yang nantinya akan berguna di masa yang akan datang. Dalam hal ini, orang tua dapat belajar dari Mahatma Gandhi dalam mendidik anaknya.
Suatu hari anaknya akan menjemput ayah tepat waktu. Tetapi faktanya anak tersebut terlambat untuk menjemput ayah. Kemudian anaknya terpaksa berbohong bahwa ia terlambat menjemput ayah karena mobil masih diperbaiki di bengkel. Akan tetapi sebenarnya si anak pergi menonton bioskop terlebih dahulu. Mengetahui anaknya berbohong, Mahatma Gandhi bertanya dalam dirinya, apakah ada yang salah dengan dirinya dalam mendidik anak. Akhirnya ia pulang berjalan kaki dan tidak mau naik mobil bersama anak. Kemudian anaknya sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
Apa yang dicontohkan Mahatma Gandhi memberikan pelajaran bahwa orang tua dalam mendidik anak sebaiknya dilakukan tanpa adanya kekerasan. Justru dengan proses, membuat anak sadar bahwa apa yang dilakukan selama ini salah.
Mulailah orang tua dapat memberikan arahan kepada anak bahwa segala sesuatu yang pertama dilihat adalah proses dan bukan dari hasil. Sehingga pelajar tidak perlu cemas dan khawatir dalam menghadapi UN. Diperlukan juga peran dari pihak sekolah dan masyarakat dalam membimbing pelajar yang sedang berproses menjadi pribadi yang lebih baik yang nantinya dapat bermanfaat bagi bangsa Indonesia. (*)
Dyah Makutaning Dewi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Siklus Siklik dan Non Siklik

Perbedaan Kartilago dan Osteon